obrolan-obrolan ini pertama kali didengar di fesbuk...

30.1.09

Bensin dan Pisang Goreng (1)

“Kok telat?”
“Iya, macet. Mau ngisi bensin susah bener. Kebanyakan pom bensin tutup, katanya bensin habis. Di tempat yang buka, antrinya panjang banget. Mau beli Pertamax mahal. Sori. Makanya telat”
“Kenapa, ya?
“Tau. Diselundupkan kali…”
“Hah? Apanya?”
“Bensinnya. Karena harga di luar lebih mahal, mending jual di luar…”
“Kenapa bisa begitu? Oh ya, saya jadi ingat. Kamu kan janji pernah mau cerita tentang ini. Tentang 'subsidi', kata kamu waktu itu. Betul?”
“Kira-kira begitu… Hei, berapa harga pisang goreng itu?”
“500 perak. Kenapa?”
“Andaikan di seberang jalan itu ada warkop juga. Pisang kamu ini dijual 600 perak di situ. Apa yang kamu lakukan?”
“Ya, bodoh aja kalau saya belinya di seberang. Orang pisangnya sama kok, iya kan?”
“Iya. Kira-kira kalau ada banyak orang pemakan pisang goreng seperti kamu di daerah ini, apa yang terjadi?”
“Pada datang beli ke sini, Warkop Mpok Iyem. Warung seberang gak bakal laku”
“Betul. Akan ada antrian di sini… kayak cerita bensin tadi”
“Jadi kamu bilang, karena harga bensin murah, antrian panjang?”
“Gampangnya kira-kira begitu. Setiap ada antrian, saya kira harga barang yang mau dibeli itu kerendahan... Tapi sekarang coba bayangkan kamu ini Mpok Iyem. Apa yang kamu lakukan dengan antrian panjang pelanggan pisang goreng di warkop kamu ini?”
“Hm, mungkin akan saya naikkan harganya sedikit. Toh banyak yang datang ini”
“Berapa?”
“… Ehm, 550 deh”
“Kenapa?”
“Soalnya kalau 600 perak, sama aja dong dengan warung seberang. Nanti pelanggan saya pindah lagi ke situ”
“Oke. Sekarang ganti. Kalau kamu pemilik warung seberang, apa yang kamu lakukan?”
“Ah malas ah. Kok disuruh membayangkan terus?”
“Sabar dong. Ini penting…”
“Oke, oke. Kalau saya jadi pemilik warung seberang khayalan kamu itu... Tadi, harga pisangnya berapa? Oh ya, 600. Sekarang warung Mpok Iyem sudah jual 550. Pelanggannya masih banyak. Ya udah, saya samain aja. 550 juga per potong”
“Apa yang akan terjadi dengan pelanggan? Ingat, dari tadi kita bicara pisang yang sama. Rasanya sama, enaknya sama”
“Kira-kira… beberapa pelanggan Mpok Iyem akan pindah ke warung saya, karena agak padat di Mpok Iyem sini…”
“Betul, pada akhirnya, jumlah pelanggan pisang goreng di kedua warung kira-kira akan sama dan harga pisang juga sama, 550. Antrian tidak ada lagi. Kalau masih ada juga, dua-duanya mungkin akan menaikkan harga ke 575. Kalau pelanggan sepi, mungkin dua-duanya menurunkan ke 525. Itu yang disebut ‘mekanisme pasar’ oleh Chatib Basri atau Faisal Basri di koran. Harga keseimbangannya disebut 'harga pasar'...”
“Oh”
“Nah sekarang kita sambung ceritanya… Bayangkan tiba-tiba ada LSM bernama Asosiasi Pemakan Pisang Goreng Jakarta, APPGJ. Mereka ini pemakan pisang fanatik. Lalu mereka kampanye dan minta tolong kepada pemerintah agar para pemakan pisang dilindungi dari harga yang tinggi”
“Misalnya, berapa?”
“Oke tadi harga pasarnya berapa? 550, ya? Katakanlah begitu… Nah mereka minta harga dipatok di 500 perak. Kira-kira apa yang terjadi kalau pemerintah memenuhi permintaan mereka? Misalkan, Pak Fauzi Bowo bilang: harga pisang goreng ditetapkan 500 perak. Yang melanggar akan dihukum. Apa yang akan terjadi?”
“Ya… kembali lagi ke awal dong. Harga pisang goreng di sini jadi 500. Tapi… hmm harga di seberang juga sama, 500. Kalau lebih tinggi, bisa dihukum, bukan?”
“Persis”
“Wah bagus dong. Harga tidak akan naik. Bahagialah kita para pemakan pisang. Mustinya Bang Foke turunin aja sekalian ke 400.”
“Tapi ini belum selesai. Dengan cerita yang sama, harga pisang di Tangerang dan di Bekasi adalah harga pasar, yaitu 550. Anggaplah Pak Ahmad Heryawan dan Ibu Ratu Atut tidak ikut-ikutan memaksa harga pisang turun ke 500 di Jawa Barat dan Banten. Nah, kalau kamu penjual pisang di Jakarta, apa yang kamu lakukan?”
“… Ehm… apa ya? ... Nggak tau. Maksud kamu apa, sih?”
“Oke, kamu penjual pisang di Jakarta dan berlokasi di Pondok Gede dekat Bekasi”
“Oh, itu maksudnya… Hahaha, saya jual aja pisangnya di Bekasi!”
“Caranya? Kamu pindah ke Bekasi?”
“Ya, bisa begitu, atau lebih gampang lagi, saya titip jual ke teman saya yang warungnya di Bekasi. Dia boleh potong komisi 25 perak per pisang, saya masih untung…”
“Nah, kalau banyak penjual pisang di Jakarta berlaku seperti kamu, apa yang terjadi?”
“… Ya, jumlah pisang goreng yang tersedia di Jakarta makin … sedikit?”
“Iya. Kalau pisang ini adalah kebutuhan pokok, apa yang terjadi di sisi pelanggan?”
“Maksudnya?”
“Kebutuhan pokok, berarti orang Jakarta memang kudu musti harus makan pisang goreng tiap hari…”
“Oh begitu. Yah, kalau begitu, warung-warung di Jakarta akan mengalami antrian dong. Karena pisang yang diminta lebih banyak daripada yang dijual, tapi harga tidak boleh naik…”
“Nah, kamu sudah ngerti betul… Kira-kira keadaan seperti itu stabil, nggak? Maksud saya, apakah semua penjual yang masih di Jakarta patuh menjual pada harga 500?”
“… Belum tentu kali, ya? Mungkin aja ada yang jual diam-diam dengan harga yang lebih tinggi… Ya asal hati-hati aja. Jangan kepergok hansip…”
“Kira-kira laku nggak?”
“Yah laku sih, kan kata kamu semua orang mau makan pisang. Ya, asalkan jangan keterlaluan aja tingginya”
“Betul, itu yang disebut ‘black market’: pasar di mana harganya bisa jauh lebih tinggi daripada harga yang diperbolehkan”
“… I see…”
“Capek juga ngomong, ya?... Mpok, Mpok, ada teh botol?... Makasih, Mpok”
“Loh, sebentar. Tadi kan kita bicara bensin? Kok nyasar ke pisang sih? Mana tentang 'susbsidi'-nya? Mana Pertamina?”
“Oh iya ya… Hahaha, sori. Oke, sekarang kita cerita bensin beneran deh… Gini…”
“Dek, Dek, maapin Mpok ye… nih warung musti tutup… besok aje ngobrol lagi ye?”
“Astaga, udah malam aja. Oke deh, kapan-kapan kita sambung lagi…”


***