obrolan-obrolan ini pertama kali didengar di fesbuk...

30.1.09

Bensin dan Pisang Goreng (2)

“Oke, kita lanjut. Sampai mana kemarin?”
“Subsidi”
“Iya. Di Kompas ada berita bahwa jumlah subsidi untuk BBM tahun ini sekitar 31 triliun rupiah. Itu jika harga minyak dunia 45 dollar per barel, kurs 11000 rupiah per dollar dan ‘alpha’ untuk Pertamina 13,4 persen”
“Gimana ngitungnya? Kenapa 31 triliun? Apa itu ‘alpha’?...”
“Haha, sabar dong. Tapi sebelumnya kita hitung dulu sendiri dengan cara kita, oke? Jangan bingung. Memang rada beda konsepnya. Ingat kemarin cerita pisang kita? Harga pasar pisang goreng 550, harga yang dipatok pemerintah 500. Itu artinya setiap potong pisang goreng disubsidi sebesar 50 perak. Kenapa harga pasar jadi patokan? Karena logikanya, penjual pisang mustinya bisa jual pada harga 550. Artinya ada selisih 50 yang seharusnya ia dapat, tapi nggak bisa, karena dilarang pemerintah…”
“Balik ke bensin?”
“Oke. Yang pertama perlu kita tahu adalah berapa harga pasar bensin”
“Sekarang ya 4500... kan sudah diturunin tiga kali sama SBY. Gitu tuh jadi presiden yang baik. Saya pasti pilih dia lagi…”
“Bukan, itu bukan harga pasar. Itu harga resmi pemerintah. Ingat cerita pisang? Untuk tahu harga pasar, kita perlu cek harga di tempat lain”
“Oh iya. Seluruh dunia, dong? Ah repot nyari infonya”
“Nggak papa. Ambil aja negara-negara tetangga. Toh, kalau kamu mau nyelundupin bensin kayak cerita pisang kemarin, masak ke tempat yang jauh-jauh amat? Kan ada biaya transportasi juga”
“Iya ya. Kalau gitu ambil Malaysia, Filipina, Singapura…”
“Iya. Harga bensin di Kualalumpur sekarang sekitar rupiah – kita rupiahin semua ya, biar gampang – 7000an per liter. Di Manila 13000an, di Singapura 5000an, di Hanoi 8500an. Kalau mau sedikit lebih jauh, di Beijing 7000an. Lebih jauh lagi, New York 8500an…”
“Wah beda-beda sekali, ya? Tunggu saya catet ah…”
“Nah, harga pasar mustinya adalah rata-rata semua harga eceran di dunia. Karena tadi kita anggap selundupan dari Indonesia nggak perlu sampai ke Amerika, kita ambil aja 6 negara biar gampang: Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan Cina… Punya kalkulator gak? Kan kamu baru pulang kantor?... Nah, oke. Bisa tolong hitung rata-ratanya? Amerika gak usah dimasukin…”
“Sebentar… 4500 tambah 7000 tambah … nananana… nananana… bagi enam… nah, 7500 rupiah per liter. Kalau dengan Amerika – coba ya – ehm… 7600. Loh, nggak jauh, ya?”
“Oke, kita ambil 7500 aja. Jadi beda harga yang dipatok di Indonesia dengan harga pasar berapa?”
“Ehm, 7500 kurang 4500, 3000 rupiah”
“Iya. Jadi itu adalah selisih yang mustinya bisa didapat per liternya tapi karena pemerintah melindungi kamu, kamu di-subsidi sebesar 3.000 per liter”
“Hah? Masak begitu? Bukannya pemerintah bilang subsidi sudah makin kecil. Bahkan ada koran yang bilang subsidi sudah gak ada… Gimana sih? Lagipula, kalau saya mau selundupin ke Filipina atau Vietnam, kan ada ongkos transportasi? Berarti yang bisa saya dapat dari jualan di negara lain nggak segitu dong?”
“Oke, tenang. Kalau ongkos transportasi, kamu betul. Kalau begitu kita potong aja berapa, 1.000 per liter? Itu udah banyak loh – bayangin kalo volume transaksi jutaan kiloliter. Jadi katakanlah harga pasar sekarang, setelah memperhitungkan ongkos transportasi adalah 6500. Berapa selisih harga sekarang? Iya, jadinya tinggal 2000 rupiah. Berati setiap liter bensin kamu disubsidi 2000 perak. Masih besar? Memang iya”
“Sebentar ya. Saya kok jadi mikir. Kalau harga pasar 7500 per liter. Sementara di Manila harganya 13000, berarti mereka bukan subsidi seperti kita? Apa dong? Kenapa mereka pakai harga tinggi sekali?”
“Saya tidak tahu apa pertimbangan Ibu Arroyo. Tapi harga itu menunjukkan secara efektif ada pajak yang cukup besar. Bukan lawannya, subsidi. Jadi kamu bukannya dibantu, tapi didenda. Alasannya bisa macam-macam. Bisa jadi Manila menggunakan patokan perbandingan harga yang lain. Di Amerika pajaknya bisa jadi untuk melindungi lingkungan. Misalnya, kamu didenda 1000 perak per liter karena konsumsi bensin merusak lingkungan…”
“Oh gitu. Wah untungnya kita di Indonesia belum peduli lingkungannya? Kalau iya, bisa mahal sekali harga bensin, hahaha”
“Lanjut?”
“Iya, sekarang gimana hubungannya dengan hitungan pemerintah?”
“Oh iya. Gini, tadi kita sudah sebutkan, yang paling penting adalah asumsi harga minyak dunia, kurs, dan alfa. Saat ini pemerintah menetapkan 45, 11000, dan 13,4 untuk hal-hal itu. Angka 45 dollar per barel itu biasanya diumumkan di New York atau Texas – ini yang di tivi disebut Brentt atau West Texas Intermediate alias WTI. Untuk Indonesia sebenarnya harga yang lebih relevan adalah harga yang diumumkan di Singapura – atau yang suka disebut Pak Purnomo atau orang Pertamina sebagai MOPS. Biasanya harga MOPS 10 dollar lebih tinggi dari WTI – karena transportasi dan segala macamnya. Jadi asumsi 45 dollar itu menjadi 55 dollar per barel di Singapura…”
“Oh gitu. Kalau alfa? Itu apaan lagi?”
“Oh itu adalah marjin yang diminta oleh Pertamina untuk ongkos operasional dan distribusi”
“Kenapa 13,4? Kok kayak angka ajaib phi? Eh itu sih 3,14 ya? Hehehe…”
“Nggak tahu asalnya dari mana. Sebelumnya angkanya 9 persen. Sekarang Pertamina minta dinaikin jadi 13,4. Jujur aja, saya nggak ngerti cara ngitungnya”
“Oke deh. Lantas?”
“Nah. Kamu bantu saya lagi. Tadi 45 sudah ditambahkan 10 ya. Jadi harga MOPS adalah 55 dollar per barel. Coba kamu tambahkan alfa 13.4 persen ke situ… Dapat berapa?”
“Sebentar. Nanananana…. Ups salah. Ulang nananana… Oke, jadi 62,37 dollar per barrel”
“Oke saya percaya. Sekarang ubah dari dollar per barrel menjadi rupiah per liter”
“Gimana caranya?”
“Pertama jadiin dollar per liter dulu. Satu barrel itu kira-kira 159 liter. Nah kamu bagi 62,37 dengan 159. Dapat berapa?”
“… 0,39. Jadi harga bensinnya sekarang adalah 0,39 dollar per liter?”
“Persis. Nah sekarang, ubah ke rupiah. Bagi aja dengan kurs. Berapa tadi? Oh ya, 11000. Dapat berapa?”
“… 4314,91. Wah ini dong harganya? 4314,91 rupiah per liter?”
“Hampir. Ada dua faktor lagi. Ada komponen pajak pertambahan nilai 10 persen dan pajak bahan baker kendaraan bermotor 5 persen. Itu sudah ketentuan, jadi harus dimasukkan”
“Jadi saya naikkan 10 persen, lalu 5 persen?”
“Yap. Dapat berapa?”
“Nanananana…. 4983,72… Aduh pusing. Bulatkan aja, ya? 5000?”
“Ya, kira-kira begitulah. Jadi harganya itu adalah sekitar 5000 rupiah per liter. Ini yang pemerintah atau koran-koran suka sebut sebagai ‘harga keekonomian’… Kadang juga yang mereka maksud adalah angka sebelum kedua pajak itu”
“Oh gitu... Tapi ‘harga keekonomian’ pemerintah yang 5000 itu beda dong dengan ‘harga pasar’ kamu yang 7500, atau 6500 setelah dipotong ongkos transportasi tadi? Pantesan beda hitungan subsidinya”
“Betul. Sekarang ambil angka pemerintah. Kalau perbandingannya 5000 per liter, dan harga yang dipatok oleh SBY 4500. Berapa ‘subsidi’ untuk kamu? Betul, 500 perak per liter. Nah di Koran disebutkan bahwa jumlah bensin bersubsidi tahun ini adalah sekitar 20 juta kiloliter. Itu artinya total subsidi untuk bensin adalah 500 kali 20 juta kilo liter. Berapa tuh? Hehehe… iya nol-nya banyak, ya?”
“…. Nananana… 10 pangkat 13… 10 trilyun rupiah?”
“Iya. Kira-kira segitu. Ingat, tadi angka total subsidi untuk BBM adalah 31 trilyun. Dan bensin hanya salah satu jenis BBM. Ada lagi solar dan minyak tanah yang juga disubsidi”
“Oh begitu. Kalau dengan metode ‘harga pasar’ kamu, bagaimana?”
“Oh iya. Tadi selisih harga pasar dengan harga SBY berapa? 2000. Itu adalah 4 kali nilai subsidi per liter versi pemerintah. Jadi kalau patokannya adalah harga pasar, maka total subsidi untuk bensin saja adalah 4 kali 10 trilyun, alias 40 trilyun rupiah”
“Wah besar, ya?”
“Iya, besar. Bahkan sudah melebihi total untuk BBM tadi, yaitu Rp 31 trilyun. Padahal masih ada minyak tanah dan solar…”
“Menarik, menarik… Tapi, aduh saya pusing nih… Udah dulu ya? Tapi kapan-kapan saya pengen tahu: siapa yang paling diuntungkan dengan kebijakan-kebijakan ini?”
“Oke… Sampai ketemu lagi”

***